Adab Khutbah Jum’at

Adab khutbah Jum’at dapat diertikan sebagai sekumpulan tata cara khutbah Jum’at, syarat-syarat, rukun-rukun, dan hal-hal yang disunnahkan padanya.

Adab-adab khutbah Jum’at adalah :

1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah solat juma’at. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib.

  • Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah).

2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah.

  • Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani).

3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

Rukun-rukun khutbah menurut Imam Syafi’i ada 5 :

  •  Membaca hamdalah pada kedua khutbah.
  •  Membaca selawat Nabi pada kedua khutbah.
  •  Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athi’ullah/taatilah kepada Allah).
  •  Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama).
  •  Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.

Syarat-syaratnya ada 6 :

  1.  Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at.
  2.  Diawali dengan niat.
  3.  Khutbah disampaikan dalam bahasa yang bisa dimengerti bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an.
  4.  Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah.
  5.  Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah.
  6. Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama.

4. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar.

5. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu.

6. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah).

  • Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
 

7. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah.

  • Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

8. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele).

  • Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)

9. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani.

10. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin, yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin bagi kaum muslimin.